logo test

ORANG TUA LEMAH, KELUARGA BERMASALAH– oleh Pdt. K. Joseph Priyono (Ibadah Raya 1,3 – Minggu, 23 Juni 2024)

Orang tua memiliki peran sentral sekaligus dominan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, baik secara fisik mental maupun spiritual. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua akan menentukan pembentukan karakter anak-anak. Menurut seorang psikolog anak, remaja, dan keluarga, Ayoe Sutomo mengatakan bahwa 20 persen karakter anak terbawa dari lahir, dan sebanyak 80 persen dipengaruhi oleh pengasuhan orang tua. Jadi baik atau buruknya karakter sorang anak itu tergantung dari cara orang tua mendidiknya. Sebab itu jangan salahkan sekolah jika anak selalu bermasalah, jangan salahkan para pendidik jika anak-anak bertumbuh kurang baik, karena tanggung jawab mendidik anak bukan terletak pada sekolah atau gereja, tetapi kepada orang tua. Pengasuhan yang baik menjadikan anak-anak terdidik, pengasuhan yang salah membuat anak bermasalah.

Ada sebuah puisi tentang perilaku anak yang ditulis olehDorothy Law Nolte, Ph.D dengan judul: Children Learn What They Live (Anak-anak Belajar dari Kehidupannya)

  • Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
  • Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
  • Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
  • Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
  • Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
  • Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
  • Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
  • Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
  • Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
  • Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
  • Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. (https://jatengprov.go.id)

Untuk itu mari kita belajar dari kehidupan keluarga imam Eli.

1Samuel 2:11-12 
Lalu pulanglah Elkana ke Rama tetapi anak itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan imam Eli. Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN.

Eli adalah seorang imam besar di Israel. Ia berasal dari keturunan Itamar, adik Eleazar, anak-anak imam Harun. Sebagai keturunan imam Harun secara otomatis ia mendapatkan jabatan keimamatan sebagai seorang imam besar yang menjadi pengantara umat dengan Allah.

Namun sayangnya jabatan yang mulia sebagai imam besar tidak secara otomatis menjadikan anak-anaknya bertumbuh benar.  1 Sam. 2:12 mengatakan “Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN.”

Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?
Ayahnya imam besar, tetapi anak-anaknya hidupnya tidak benar.
Ayahnya seorang terhormat, tetapi anak-anaknya berlaku jahat.
Ayahnya seorang yang pelayan Tuhan, tetapi anak-anaknya pelawan Tuhan.
Ayahnya seorang yang rohani, tetapi anak-anaknya …….

Mengapa Eli gagal mendidik anak-anaknya?
1. Kuat dalam pelayanan, lemah di kehidupan
1Samuel 2:24 
Janganlah begitu, anak-anakku. Bukan kabar baik yang kudengar itu bahwa kamu menyebabkan umat TUHAN melakukan pelanggaran.

Imam Eli mengetahui semua kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh anak-anaknya, tetapi apa yang ia lakukan? Ia bicara keras di gereja, tetapi tidak tegas dengan dosa di keluarga. Elia memberikan tolerasi terhadap dosa yang dilakukan anak-anaknya.

Seharusnya Eli tegas terhadap dosa yang dilakukan anak-anaknya, tidak memberikan toleransi/kompromi terhadap kejahatan yang dilakukan anak-anaknya karena mereka adalah imam, para pelayan yang melayani di rumah Tuhan. Inilah awal kegagalan Eli mendidik anak-anaknya. Ia kuat di pelayanan, tetapi lemah di kehidupan.

Hati-hati, jangan sampai kita seperti imam Eli, berhasil di gereja, gagal di rumah tangga. Hebat di pelayanan tetapi keluarga berantakan. Umat berdosa diberi teguran, tetapi dosa keluarga dibiarkan.

Amsal 13:24 
“Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.”

Ibrani 12:5 – 7 
Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?

2. Berhasil memberikan impian, gagal membangun landasan
1Samuel 2:12 
Adapun anak-anak lelaki Eli adalah orang-orang dursila; mereka tidak mengindahkan TUHAN.

Sejak anak-anaknya kecil Imam Eli sudah memberikan impian, bahwa kelak mereka akan menjadi imam-iman yang melayani di rumah Tuhan. Tetapi mengapa  mereka bertumbuh menjadi orang-orang dursila? Sebab Eli gagal memberikan landasan kehidupan bagi anak-anaknya.

Berikan mimpi hebat, tetapi jangan lupa siapkan landasan yang kuat. Karena hebatnya bangunan tergantung dari landasan yang disiapkan. Kalau landasannya kuat, apapun bisa dibuat. Memberikan impian membuat anak-anak terbang tinggi, membangun landasan membuat mereka tahan uji.

Apa landasan yang benar? Kebenaran firman TUHAN. (Ingat perumpamaan orang yang membangun rumah di atas dasar batu karang dan pasir)

Tiga landasan kehidupan
1Kor. 13:13 
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.

  • Iman: Memberikan keyakinan akan hadirnya Tuhan dalam segala keadaan. Iman membuat anak-anak bertahan dalam kebenaran, tidak mudah jatuh dengan godaan keduniawian. Kalau anak-anak mau aman lengkapi dengan iman.
  • Harapan: Membuat anak-anak bertahan dalam kesulitan, tangguh dan tidak mudah menyerah. Mereka pahan bahwa: untuk menjadi bintang, dia harus tahan banting. Agar dapat menang dengan gagah, harus berjuang dengan gigih.
  • Kasih: Membuat segalanya mudah dilakukan.

3. Berhasil memberikan tuntunan, tetapi gagal menjadi tontonan.
1Samuel 2:27-29 
Seorang abdi Allah datang kepada Eli dan berkata kepadanya: “Beginilah firman TUHAN: Bukankah dengan nyata Aku menyatakan diri-Ku kepada nenek moyangmu, ketika mereka masih di Mesir dan takluk kepada keturunan Firaun? Dan Aku telah memilihnya dari segala suku Israel menjadi imam bagi-Ku, supaya ia mempersembahkan korban di atas mezbah-Ku, membakar ukupan dan memakai baju efod di hadapan-Ku; kepada kaummu telah Kuserahkan segala korban api-apian orang Israel. Mengapa engkau memandang dengan loba kepada korban sembelihan-Ku dan korban sajian-Ku, yang telah Kuperintahkan, dan mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih dari pada-Ku, sambil kamu menggemukkan dirimu dengan bagian yang terbaik dari setiap korban sajian umat-Ku Israel?

Eli berhasil memberikan tuntunan dengan firman Tuhan, tetapi sayang Eli gagal menunjukan yang diajarkan dalam tindakan. Ia sukses dalam pengajaran, tetapi gagal dalam tindakan. Ia jago berkata-kata, tetapi keok dalam tindakan nyata. Sadrilah bahwa: kebenaran tidak bisa diajarkan, kebenaran itu diteladankan. Contohnya adalah TUHAN YESUS, untuk mengajarkan kebenaran tidak cukup dengan kata-kata, tetapi menunjukan dengan tindakan nyata. Dalam Yohanes 13, Tuhan Yesus tuntunan dengan firman dan memberikan keteladanan dalam tindakan. Dengan cara-Nya membasuh kaki murid-murid-Nya, Ia menunjukan tugas seorang pemimpin. Pemimpin bukan orang yang duduk di kursi, tetapi orang yang turun melayani, merendahkan diri dan mencuci kaki orang-orang yang mengikuti-Nya. Tuhan memberkati – KJP!

Arsip Catatan Khotbah